Kehidupan modern tidak terlepas dari kebutuhan kita akan energi, khususnya listrik. Apalagi saat ini, tidak ada listrik berarti tidak terhubung ke internet. Sebuah bencana bagi banyak orang, khususnya millennials.
Dalam satu hari penuh kita umumnya akan membutuhkan listrik sejak bangun tidur, dan khususnya malam hari. Tidak jarang kita merasakan penggunaan listrik kita mungkin termasuk banyak dan bahkan berlebihan. Hal ini mungkin kita sadari ketika melihat tagihan listrik per bulannya. Namun apakah kita juga menyadari aspek lain dari penggunaan listrik berlebihan tersebut, misalnya seperti sustainability dari sumber listrik kita?
Sejak dulu diketahui kalau di dunia terdapat sumber energi terbarukan dan tidak terbarukan. Ketersediaan sumber daya alam yang tidak terbarukan seperti batubara, dan minyak bumi sudah sejak lama dipahami tidak akan bertahan lama bagi manusia sehingga energi terbarukan semakin diperlukan.
Sekarang ini teknologi sudah memampukan manusia untuk memanfaatkan sumber daya alam terbarukan yang digunakan untuk memperoleh listrik, seperti air, angin, sinar matahari dan biofuel.
Memang, harga listrik yang diperoleh dari energi tak terbarukan ini jauh lebih mahal dalam jangka waktu pendek, namun jauh lebih berharga ketika dihitung dalam jangka waktu panjang khususnya dari aspek perlindungan lingkungan hidup. ‘Zaman now’ sudah selayaknya kita memahami lebih lanjut isu energi terbarukan, salah satunya energi panas matahari atau tenaga surya.
Listrik dari sinar matahari didapatkan melalui energy conversion, atau perubahan bentuk energi melalui perantara. Panel-panel solar atau sel photovoltaic akan menangkap energi panas dari sinar matahari, panas tersebut kemudian akan dikonversikan menjadi arus direct current (DC) yang kemudian akan menjadi arus alternative current (AC) yang bisa digunakan untuk kebutuhan listrik rumah tangga.
Energi panas matahari sangat baik karena mudah didapat dan bersih dalam arti ramah lingkungan karena tidak ada emisi gas buang. Di Indonesia juga sumber energinya sangat melimpah. Sayangnya teknologi untuk tenaga surya masih relatif mahal, karena diperlukan investasi yang cukup besar di awal untuk perangkatnya. Di samping itu, persiapan instalasi yang cukup rumit dan terdapat kebutuhan akan baterai sebagai media penyimpan energi listrik yang dihasilkan.
Saat ini pemerintah sudah turut mendukung pemanfaatan tenaga surya secara lebih luas dalam rangka memenuhi kebutuhan listrik dengan bahan bakar non-BBM dan mengupayakan pemerataan akses listrik.
Bukti nyatanya terlihat dari upaya pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang sudah dilakukan sejak tahun 2010 dan penyediaan solar home system bagi warga di wilayah terpencil khususnya di wilayah Timur Indonesia.
PLTS terbesar di Indonesia berada di Dusun Bajaneke, Desa Oelpuah, Kupang, NTT yang beroperasi sejak bulan Desember 2016. Sementara itu, pada awal tahun 2018, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan pemberian lampu tenaga surya hemat energi (LTSHE) untuk lebih dari 175 ribu rumah di 15 propinsi.
Tentunya, penggunaan energi listrik dari tenaga surya ini kedepannya akan sangat diminati oleh banyak orang khususnya daerah terpencil yang minim listrik dengan cadangan sumberdaya alam yang kurang untuk menyediakan energi listriknya.
Tapi tidak hanya di wilayah terpencil, di banyak negara lain, pemanfaatan energi matahari atau tenaga surya juga sangat diminati karena minimnya dampak ekologis dari solar panels dan sumbernya yang tidak terbatas. Beberapa solar power plant terbesar di dunia adalah Kamuthi di Tamil Nadu, India dan Longyangxia Solar Park di RRT.
Sebagai negara tropis yang terletak di khatulistiwa, teknologi pemanfaatan energi surya seharusnya bisa menjadi salah satu pilihan utama bagi masyarakat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan energi terbarukan.
Click here for link (Pemanfaatan Tenaga Surya sebagai Sumber Listrik )
Click here for download article ( Pemanfaatan Tenaga Surya sebagai Sumber Listrik )