Peta jalan pengembangan energi terbarukan yang sedang disusun oleh Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) merupakan salah satu upaya agar dapat mencapai target 23% bauran energi nasional pada tahun 2025. Pemerintah beralasan, peningkatan penggunaan energi baru terbarukan dalam bauran energi nasional akan mengurangi ketergantungan impor energi.
Bauran energi nasional tahun 2017 berdasarkan data SKK Migas yang dikutip oleh Fariha Sulmaihati (2019), energi baru terbarukan (EBT) masih menempati peringkat terendah yaitu adalah 7%, disusul batu bara 23%, gas 30% dan minyak bumi 40%, sebagaimana ditunjukkan dalam gambar di atas.
Kondisi ini tentu akan memunculkan pertanyaan, bagaimana rancangan skema yang cocok diterapkan untuk meningkatkan penggunaan energi baru terbarukan agar dapat meningkatkan bauran energi nasional?
Apakah melalui himbauan kepada masyarakat agar secara swadana menggunakan energi baru terbarukan atau melalui skema bantuan pemerintah? Apakah juga memungkinkan melalui peraturan perundangan yang bersifat mengikat sehingga masyarakat dipaksa untuk menggunakan EBT?
Sementara ini, kaidah umum yang berlaku di masyarakat adalah sesuatu yang mendatangkan keuntungan akan menjadi pilihan sikap dibandingkan dengan himbauan ataupun kebijakan yang tidak memberikan keuntungan. Sebagai contoh, ketika pemerintah memberikan himbuan kepada masyarakat untuk tidak menggunakan gas LPG non subsidi kecuali masyarakat yang tidak mampu, apa yang terjadi?
Masyarakat yang mampu tetap menggunakan gas LPG bersubsidi karena tidak ada hambatan dalam memperoleh gas LPG bersubsidi tersebut. Begitu pula dalam kasus himbauan Pemerintah kepada masyarakat untuk menggunakan bahan bakar non subsisidi untuk sarana transportasi pribadi, ternyata masih banyak dijumpai masyarakat mampu yang masih menggunakannya.
Oleh karena itu, target pemerintah dalam meningkatkan penggunaan EBT oleh masyarakat pun perlu dipikirkan terkait dengan kompensasi yang diterima oleh masyarakat pengguna.
Saat ini masyarakat Indonesia menggunakan sumber energi listrik PLN dalam mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Menurut Ignasisus Jonan selaku menteri ESDM, per Juli tahun 2019 tercatat 98,81% keluarga di Indonesia telah menikmati listrik, sedangkan sisanya 1,2% keluarga diharapkan akhir tahun 2019 sudah dapat menikmati akses listrik.
Bagi masyarakat yang sudah menikmati listrik PLN, pertanyaan yang sering dikemukakan adalah lebih untung (secara finansial) menggunakan listrik PLN atau listrik yang dihasilkan dari EBT seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS)? Mari coba kita hitung secara kasar terkait dengan investasi penggunaan listrik untuk kedua sumber tersebut.
Bila seorang warga ingin berlangganan listrik dari PLN daya 1300 VA dengan jumlah beban 3 titik lampu dan 1 titik kontak kontak dengan durasi penggunaan 10 tahun, maka total biaya yang harus keluarkan untuk jangka waktu penggunaan 10 tahun kurang lebih 15 jutaan, dengan asumsi biaya operasional yang dikeluarkan setiap bulan kurang lebih 100 ribuan.
Adapun pemakaian listrik PLTS agar mampu menghasilkan setara 1300 VA dengan tegangan keluaran 220 Vac untuk durasi yang sama (10 tahun) maka membutuhkan investasi kurang lebih 42 jutaan. Hasil perbandingan nilai ekonomis tersebut tentu sudah bisa memberikan gambaran kepada kita, terkait dengan kecenderungan pilihan yang akan diambil.
Dengan demikian, bila pertimbangan penggunaan PLTS semata-mata hanya nilai ekonomis maka sudah barang tentu masyarakat tidak akan jatuh hati memilih PLTS, tetapi bila alasan penggunaan PLTS ini semata-mata karena pertimbangan keberlanjutan lingkungan maka sudah barang tentu PLTS akan menjadi pilihan utama dan pertama.
Meskipun demikian, saya optimis bahwa pemerintah telah menyiapkan kebijakan yang menarik untuk mendorong masyarakat beramai-ramai menggunakan PLTS. Okay?
Click here for link (Mana yang Anda Pilih, Listrik PLN atau PLTS? )
Click here for download article (Mana yang Anda Pilih, Listrik PLN atau PLTS?)